Berperan sebagai salah satu tempat untuk menyelamatkan dan mengamankan aset seni-budaya serta membentuk jati diri/karakter bangsa, melatarbelakangi Harian Bali Post tahun 2010 ini menganugerahkan K. Nadha Nugraha kepada 10 museum yang tersebar di Bali. Penganugerahan K. Nadha Nugraha kepada tokoh Bali dan Nasional telah dilakukan sejak 5 Januari 2002, tepat setahun amor ring acintya tokoh Pers Bali yang juga perintis Bali Post K. Nadha. Acara dilangsungkan di Museum Seni Lukis Klasik Nyoman Gunarsa, Klungkung, Selasa (5/1) ini. Setelah itu diadakan sarasehan mengenai museum dengan pembicara Pande Wayan Suteja Neka dan Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A.
Penganugerahan ini juga erat kaitannya dengan tahun 2010 ditetapkan sebagai Tahun Kunjungan Museum (Visit Museum Year). Di mana museum selayaknya ditempatkan pada posisi bergengsi, selain untuk tempat riset, menggali inspirasi penciptaan dalam memperluas wawasan juga berbagai tempat kunjungan wisatawan. Dari kesepuluh museum tersebut, museum Purbakala Gilimanuk di antaranya menyimpan fosil dan Museum Yadnya yang memajang ragam alat-alat upacara/manusa yadnya untuk masyarakat luas. Berikut profil dan kiprah kesepuluh museum tersebut :
Museum Negeri
Didirikan beberapa tahun setelah kerajaan Badung diduduki oleh Belanda pada tahun 1910. Pembanunan ini atas prakarsa dan dorongan Residen Belanda yakni W.F.I. Kroon. Pengembangan bangunannya dibantu oleh arsitek Jerman Curt Griindler dan beberapa undagi (ahli seni bangunan tradisional Bali) di antaranya I Gusti Ketut Gede Kandel, I Gusti Ketut Rai, dan I Gusti Alit Ngurah. Para sarjana Barat yang ikut membantu membangun museum ini yakni Dr. W. F.Stuterhein, Dr. R. Goris, Walter Spies dan Dr. TH.A. Resink. Uniknya arsitektur bangunan museum ini merupakan perpaduan antara seni bangunan pura dan puri yang merupakan tempat tinggal kaum ningrat. Pembangunannya rampung tahun 1929 dan secara resmi dibuka pada 8 Desember 1932. Museum tertua di Pulau Dewata ini akhirnya memberikan inspirasi bagi kehadiran museum-museum lainnya.
Jika ditinjau dari koleksinya, museum ini termasuk museum etnografi yang koleksinya meliputi benda-benda budaya, perlengkapan hidup dan perlengkapan upacara adat/agama masyarakat Bali dari sejak dulu hingga sekarang.
Strukturnya terdiri atas beberapa unsur : Budaya yaitu unsur Bali asli (Bali kuno) dengan agama Hindu yang luluh menjadi satu membentuk kebudayaan Bali sekarang. Koleksi-koleksi uniknya yang mengandung sejarah tinggi di antaranya arca Tegallalang, Gianyar; arca Manjusri asal Singapadu, arca Perwujudan Dewa asal Pura Carangsari, Badung, arca Jaladuara, patung primitif dan patung raksasa.
Museum Puri Lukisan
Berdiri pada 31 Januari 1956 dibawah naungan yaaysan Ratnawarta, dan dibuka secara resmi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Yamin. Yang perlu dicermati Puri Lukisan adalah museum seni rupa pertama yang dikelola oleh swasta di Pulau Dewata. Sedangkan pemrakarsanya adalah Cokorda Gede Agfung Sukawati, I Gusti Nyoman Lempad, serta seniman asing yang menetap di Ubud, Rudolf Bonnet. Seperti diketahui, sejak tahun 1930-an Ubud dikenal luas oleh wisatawan mancanegara. Tercatat pelukis Jerman yakni Walter Spies dan Pelukis Belanda Rudolf Bonnet pernah menggali inspirasi dan menetap di ubud. Keduanya dibantu oleh Cokorda Gede Agung Sukawati dari Puri Agung Ubud membangun museum.
Museum Puri Lukisan bercokol sekitar 200m dari Puri Saren, dipisahkan sebuah lembah kecil, naik ke sebidang dataran yang luas, dengan pemandangan yang indah. Siapapun akan menikmati ketenangan di situasi yang sejuk dan rindang ini, apalagi diisi dengan kegiatan melihat hasil karya seni para seniman besar. Museum ini terdiri atas tiga bangunan utama yang berbentuk U, di tengah-tengah adalah taman museum dan kolam dengan bunga tunjung yang indah. Museum tua ini menyajikan perjalanan seni rupa di Ubud, baik seni lukis maupun seni pahat. Sejumlah karya para seniman asing yang menetap di Ubud, seperti Rudolf Bonnet, Walter Spies dan Arie Smit, menghiasi dinding museum ini. Juga dipajang lukisan tradisonal karya maestro lokal seperti I Gusti Nyoman Lempad, I Gusti Made Deblog, dan Ida Bagus Made.
Museum Neka
Museum ini dikenal memiliki koleksi seni rupa terlengkap, karena berkat kerja keras pemilik sekaligus pendirinya yakni Pande Wayan Suteja Neka berjuang keras melengkapi koleksinya. Berlokasi di Jalan Raya Sanggingan Ubud dan diresmikan pada 7 Juli 1982 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Joesof. Karya-karya seniman tersebut dipajang sesuai perkembangan seni rupa tradisonal Bali hingga kontemporer dengan konsep jelas. Juga terdapat lukisan karya pelukis luar Bali dan pelukis asing yang mendapat inspirasi dan lingkungan alam serta Budaya Blai dalam karyanya. Untuk menambah informasi seni budaya, Museum Neka juga membuat paviliun khusus untuk maestro Bali yakni Lempad dan pelukis ternama dunia Arie Smit.
Koleksi dipajang dalam 6 bangunan yang berpola arsitektur Bali. Gedung terdepan digunakan untuk pameran kontemporer, sedangkan bagian yang lain dipakai untuk pameran permanen, serta merupakan koleksi museum Neka yang terdaftar.
Selama ini, Museum Neka dikelola oleh Yayasan Dharma Seni Museum Neka. Di samping mengoleksi patung karya maestro Bali seperti Cokot, Museum Neka juga mengoleksi seni keris Indonesia. Keris-keris ini dipajang secara atraktif sehingga banyak menarik minat para pengunjung yang hadir di sana. Apalagi sejak 25 November 2005, budaya keris dinyatakan sebagai karya agung warisan kemanusiaan milik seluruh bangsa UNESCO. Berbagai penghargaan dari berbagai kalangan atas jasa-jasa Pande Wayan Suteja Neka rupanya mendorong para pemilik galeri lain untuk menyumbangkan daya dan kecintaannya kepada masyarakat luas.
Museum Seni Lukis Klasik
Nyoman Gunarsa
Museum Seni Lukis Klasik Indonesia (SLKI) Nyoman Gunarsa dibangun atas prakarsa Drs. Nyoman Gunarsa. Pembangunan gedung museum dimulai tahun 1987 dan diresmikan pada 31 Maret oleh KGPPA Paku Alam VIII dan Clare Wolfowitz, istri duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia. Bangunan yang semula merupakan tempat tinggal Nyoman Gunarsa ini, berdiri di atas tanah seluas 1.000 m2 dan terdiri atas dua bangunan bercorak tradisional dengan kombinasi modern. Koleksi museum berupa lukisan pribadi Nyoman Gunarsa yang dikumpulkan dari berbagai pelukis yang mampu mewakili waktu dari karya lukis itu. Koleksi yang terkumpul kurang lebih 500 karya lukis. Museum ini terletak di jalur yang cukup strategis, tepatnya di pertigaan Banda Desa Takmung tiga km arah Barat kota Semarapura.
Bangunan museum merupakan perpaduan arsitek Bali modern. Di museum ini juga dipajang berbagai lukisan klasik Bali baik dari peniggalan zaman dahulu maupun yang baru. Di lantai tiga, pelukis lulusan Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (Sekarang Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia) Yogyakarta ini, memajang karya-karyanya sendiri. Koleksi lukisan klasik di sini, cukup banyak dibandingkan dengan museum lain. Museum yang makan ongkos bangunan dan lain-lainnya itu sampai sekitar empat miliar, memiliki 200-an lukisan klasik gaya Kamasan.
Gunarsa kini juga menggarap panggung terbuka Surya Candra Murti. Bangunan ini juga merupakan karya instalasi monumental yang mungkin satu-satunya ada di jagad raya ini. Betapa tidak, daun pintunya yang berjumlah delapan buah, mempunyai ketinggian 9 meter dan tebal 20 cm. Delapan pintu besar keliling ini merupakan arah mata angin, sekaligus delapan (Asta Manah) yakni delapan unsur kata hati dari pemikiran. Satu pintu kayu raksasa yang tingginya sembilan meter terbuat dari kayu besi dari Papua yang berkualitas tinggi. Belum lagi sulitnya merakit dan mengukir pintu tersebut sehingga menjadi seni yang agung dan sulit tertandingi.
Museum Rudana
Museum Rudana adalah sebuah museum seni yang berada di Peliatan, Ubud, Gianyar, dan digunakan untuk memamerkan dan mempromosikan karya seni berupa lukisan dan patung karya seniman Bali. Di antara karya seni yang dipamerkan yakni karya I Gusti Nyoman Lempad (Alm.), Nyoman Gunarsa, Made Wianta, seniman Indonesia di luar Bali seperti Affandi (Alm.) , Basuki Abdullah (Alm.), Srihadi Soedarsono, Sunaryo Sutono, maupun seniman asing yang tinggal di Bali seperti Antonio Blanco (Alm.) dan Arie Smit. Museum Rudana didirikan oleh Nyoman Rudana, seorang kolektor lukisan yang juga pemilik galeri seni Rudana Fine Art Gallery dan Genta Fine Art Gallery. Museum Rudana didirikan atas dasar idealisme pendirinya, Nyoman Rudana, di mana seni merupakan hal yang universal, sebagai hasilnya, berkontribusi terhadap proses harmonisasi antara manusia dengan Tuhan (Parhyangan), antara manusia dengan manusia (Pawongan), serta manusia dengan alam sekitarnya (Palemahan) yang tercermin dalam konsep filosofis Bali Tri Hita Karana di mana seni sangat berperan dalam membantu menyebarluaskan perdamaian, kemakmuran, serta rasa persaudaraan di antara umat manusia sedunia.
Museum Purbakala Gilimanuk
Museum Purbakala Gilimanuk merupakan salah satu mata rantai penting perjalanan sejarah peradaban pulau Bali. Museum ini terletak di lingkungan asri, kelurahan Gilimanuk yang didirikan tahun 1994 lalu. Bangunannya terdiri atas tiga lantai, tetapi belum pernah diperbaiki sebenarnya masih ada bangunan di situ yang berada di belakang bangunan utama, namun kondisinya rusak. Kayu-kayu bangunan juga sudah keropos dan atapnya rusak. Hanya ada empat petugas dari Balai Purbakala serta Pemkab Jembrana yang berjaga di sana. Di museum ini terdapat koleksi benda-benda purbakala, baik fosil manusia, sarkofagus, perhiasan dari batu, periuk, perunggu, dan peti mati atau sarkofagus serta beragam bekal kubur. Juga ada fosil manusia purba dari ras mongoloid yang diperkirakan bermukim di gilimanuk sejak 195 SM hingga 425 M. Tak berlebihan kalau situs Gilimanuk ini disebut kuburan massal manusia purba.
Museum Subak Sanggulan
Jika ingin melihat sistem pertanian Bali yang dinamai subak, Museum Subak Sanggulan tempatnya. Museum ini diresmikan oleh Gubernur Bali, Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, 13 Oktober 1981. Museum ini dibangun khusus untuk mengingatkan kita supaya melestarikan subak dari gempuran zaman. Sistem pertanian tradisional ini dikenal sangat ampuh mempersatukan para petani sehingga mereka bisa bercocoktanam dengan baik. Selain sebagai aset budaya, Museum Subak ini juga merupakan aset wisata yang tak ternilai harganya. Museum Subak ini bercerita tentang kehidupan masyarakat Bali, terutama sistem pertaniannya. Museum dengan areal sekitar 6 hektar ini terdiri atas museum induk (tertutup) dan museum terbuka (open air museum).
Penggagas pendirian museum ini yakni I Gusti Ketut Kaler, Pakar adat dan agama yang waktu itu menjabat Kanwil Departemen Agama Provinsi Bali. Dia berpandangan, perlua ada lembaga adat subak yang melestarikan warisan leluhur budaya bangsa sejak abad XI ini. Upaya itu akhirnya terwujud.
Museum Sidik Jari
Museum seni lukis ini mengoleksi karya pribadi pemiliknya, I Gusti Ngurah Gede Pemecutan. Keunikan dari koleksi museum ini dimana imajinasi dari pelukisnya dituangkan dalam kanvas dengan aplikasi warna hanya menggunakan jari tangan. Museum ini dilengkapi dengan fasilitas perpustakaan, studio, ruangan, dan panggung terbuka untuk pementasan kesenian. Museum Lukisan Sidik Jari berdiri tahun 1993 di atas tanah seluas 1792 meter persegi di Jalan Hayam wuruk, Tanjung Bungkak, Dentim, serta mengoleksi 200 karya Ngurah Gede Pemecutan. Lukisan dan benda-benda kerajinan itu, termasuk peralatan melukis dari ijuk, bulu ayam, serta kuas dalam pengertian terkini. Tak sampai di situ, museum ini juga menyimpan karya Ngurah Pemecutan sejak masa SMP tahun 1954 serta karya semasa ia sebagai ilustrator mingguan Bintang Timur tahun 1959 di Malang, Jawa Timur.
Selain rumah tinggal keluarga Ngurah Gede Pemecutan, di kompleks ini juga terdapat wantilan, bangunan serbaguna bergaya Bali, serta sebuah panggung terbuka. Di situlah lelaki keturunan raja dari Puri Pemecutan Denpasar ini, membangun aktivitas budaya, termasuk mengundang para guru untuk mengajar melukis dan menari bagi generasi muda.
Museum Gedong Kirtya
Gedong Kirtya adalah perpustakaan yang didirikan tahun 1928 di Singaraja, yang waktu itu berfungsi sebagai ibukota Sunda Kecil. Namun Museum ini artinya mencoba dalam bahasa Sanskerta. Museum ini terletak di kompleks Sasana Budaya yang merupakan istana tua Kerajaan Buleleng. Museum ini agak beda dengan museum lain karena merupakan tempat yang benar-benar khusus menyimpan lontar. Ada sekitar 3.000 lontar kuno juga prasasti, manuskrip kertas dalam bahasa Bali dan huruf Romawi termasuk dokumen-dokumen dari zaman kolonial (1901-1953). Museum ini dibangun oleh orang Belanda, L.J Caron. Ketika itu, Caron yang datang ke Bali bertemu dengan para raja dan tokoh agama untuk berdiskusi mengenai kekayaan kesenian sastra atau lontar di seluruh Bali. Museum ini bermula dari sebuah Yayasan Kirtya Lefrink-Van der Tuuk yang bertugas menjaga kesenian sastra. F.A Lefrink yang merupakan asisten residen pemerintah Belanda waktu itu, sangat tertarik dengan kebudayaan Bali dan banyak tulisan yang dibuat mengenai Bali dan Lombok. Dr. H.N Van der Tuuk, sejarawan yang memberikan tanah dan bangunannya untuk digunakan sebagai museum yang sekarang dikenal sebagai Museum Gedung Kirtya.
Museum Manusia Yadnya
Museum Manusia Yadnya berlokasi di Mengwi, Badung. Museum ini awalnya dibangun tahun 1974 oleh Pemda Tingkat II Badung di wilayah pengawasan Dinas Pariwisata Provinsi Bali untuk pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) Kabupaten Badung. Museum ini bertujuan melestarikan peralatan upacara, serta bisa menjadi sarana pendidikan bagi para siswa terutama dalam masalah kajian sejarah. Ada dua bangunan yang memamerkan gambar atau model ragam upacara Manusa Yadnya (Upacara untuk manusia) yang ada di Bali. Museum ini juga berperan penting untuk memberikan pengetahuan kepada generasi muda mengenai beragam upacara Manusa Yadnya beserta sarananya. Terlebih, generasi muda mulai jarang menekuni kegiatan upacara Yadnya akibat kesibukan mereka di tengah derasnya pengaruh budaya luar maupun teknologi modern. (kmb/berbagai sumber)
|